Kamis, 14 Oktober 2010

1. Pengertian etika
- Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral
- etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
2. Contoh etika & penerapannya di masyarakat
- ’Jangan berzina’, ’Jangan selingkuh’, ’Jangan memfitnah’ merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi ’dispensasi’
- Perintah untuk mengembalikan barang orang lain atau barang yang dipinjam dari orang lain selalu berlaku. Tidak peduli orang tersebut lupa atau tidak.
- Berbicara kotor’ tidak pernah diperbolehkan. ’Jangan berbicara kotor’ merupakan suatu norma etika. Tidak peduli orang berbicara kotor pada orang yang dikenal maupun orang tak dikenal.
-Perintah untuk mengembalikan barang orang lain atau barang yang dipinjam dari orang lain selalu berlaku. Tidak peduli orang tersebut lupa atau tidak.
3. Contoh etiket
- Seseorang yang bertamu ke rumah orang lain, harus mengetuk pintu dulu sebelum masuk atau memberi salam. Dianggap melanggar etiket jika tamu langsung masuk dan duduk tanpa dipersilahkan terlebih dahulu. Atau langsung masuk rumah dan berkata “Dimana si A?” atau “Saya mencari si A”
- ’Berbicara kotor’ tidak pernah diperbolehkan. ’Jangan berbicara kotor’ merupakan suatu norma etika. Tidak peduli orang berbicara kotor pada orang yang dikenal maupun orang tak dikenal.
- Jika di restoran mewah atau perjamuan para pejabat, orang tidak diperkenankan makan dengan tangan. Dianggap melanggar etiket jika makan tidak pakai sendok dan garpu.
-Memakai pakaian terbuka bagi budaya timur tengah tidak diperbolehkan tetapi bagi budaya barat itu hal yang biasa

4. Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap sangat terpaku pada aturan2 ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan2 radikal di zamannya.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Dan Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam kehidupan..
menurut saya Asas utilitarisme itu sering bertentangan dengan aturan2 moral yang sudah ada,karena untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan itu terkdang kita tidak m menggunakan etika dan etiket.

Rabu, 13 Oktober 2010

COBIT

PT. KERETA API INDONESIA
BERBASIS FRAMEWORK COBIT

COBIT dikembangkan sebagai suatu generally applicable and accepted standard for good Information Technology (IT) security and control practices . Istilah “ generally applicable and accepted ” digunakan secara eksplisit dalam pengertian yang sama seperti Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Pembahasan ini mencoba memberikan suatu usulan model Tata Kelola TI untuk PT. Kereta Api (Persero) dengan mengacu kepada standar COBIT (Control Objectives for Information and Related Technology).
COBIT’s “good practices” mencerminkan konsensus antar para ahli di seluruh dunia. COBIT dapat digunakan sebagai IT Governance tools, dan juga membantu perusahaan mengoptimalkan investasi TI mereka. Hal penting lainnya, COBIT dapat juga dijadikan sebagai acuan atau referensi apabila terjadi suatu kesimpang-siuran dalam penerapan teknologi.
COBIT merupakan model standar Tata Kelola TI yang telah mendapatkan pengakuan secara luas. Standar COBIT digunakan karena memiliki kompromi yang cukup baik dalam keluasan cakupan pengelolaan dan kedetilan proses-prosesnya dibandingkan dengan standar-standar lainnya. Penelitian ini difokuskan pada dua domain utama COBIT, yaitu Planning and Organisation (PO) dan Acquisition and Implementation (AI).
Untuk mengimplementsikan COBIT PT KAI pertama kita harus mengetahui visi dan misi PT KAI, Selanjutnya dilakukan identifikasi management awareness terhadap fungsi aset TI yang dimilikinya dalam mendukung tercapainya visi dan misi perusahaan melalui kuesioner. Dari kedua data tersebut, maka dapat ditentukan target kematangan (expected maturity level) yang sesuai untuk PT. Kereta Api (Persero). selanjutnya dilanjutkan dengan melakukan penilaian current maturity level melalui kuesioner dan wawancara kepada responden yang terkait pengelolaan TI. Data expected dan current maturity level masing-masing proses TI kemudian dianalisis untuk melihat gap yang ada, dan selanjutnya ditentukan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi gap tersebut.
Dari hasil yang diketahui dari beberapa sumber yang telah diketahui, bahwa ekspektasi manajemen PT. Kereta Api (Persero) terhadap TI yang dimilikinya dalam menunjang proses bisnis perusahaan ternyata sangat tinggi. Sebanyak 94,12% proses TI COBIT pada domain PO dan AI diharapkan untuk dilakukan di PT. Kereta Api (Persero). Dengan melihat visi dan misi, tujuan perusahaan, serta target penerapan TI yang tercantum dalam Master Plan TI PT. Kereta Api (Persero), dapat disimpulkan bahwa pengelolaan TI di PT. Kereta Api (Persero) haruslah memiliki tingkat kematangan (maturity level) pada skala 4 (managed and measurable).
Pada pengukuran kematangan proses TI di PT. Kereta Api (Persero), terlihat bahwa 37,50% proses TI COBIT domain PO dan AI telah berada pada tingkat kematangan 4 (managed and measurable), dan 62,50% memiliki kematangan pada skala 3 (defined process). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar proses masih memiliki gap yang harus diatasi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi gap tersebut telah diuraikan dalam penelitian ini. Analisis gap dari level 3 ke level 4 secara umum berkisar pada proses pendefinisian kebijakan untuk seluruh aktifitas terkait TI di PT. Kereta Api (Persero) dan dilanjutkan dengan pendokumentasiannya. Proses selanjutnya adalah melakukan review secara berkala terhadap kebijakan atau prosedur yang telah disusun agar selalu sesuai dengan kondisi lingkungan internal dan eksternal PT. Kereta Api (Persero).
Pengelolaan TI yang disertai perencanaan dan penetapan ukuran-ukuran yang jelas sejak awal seperti yang dibentuk dengan menggunakan standar COBIT akan memastikan suatu pengelolaan yang efektif dan efisien, dan menjadikan aset TI yang dimiliki menjadi penunjang utama tercapainya visi dan misi PT. Kereta Api (Persero) yang telah ditetapkan.
Selama beberapa periode IT mampu memberikan keunggulan kompetitif
IT sama halnya dengan teknologi lain yang terlebih dahulu ada seperti mesin uap dan jalur kereta api, telegraf dan telepon serta teknologi lainnya yang disempurnakan oleh industri. Ketika ketersediaan IT meningkat dan harga turun, mereka berubah menjadi suatu komoditas/sumber daya dan tidak terlihat sebagai sebuah strategi.
Oleh karena itu hal-hal yang harus dilakukan manajemen Pt KAI antara lain:
1.Melakukan evaluasi ulang untuk menyegarkan siklus IT.
2.Menahan diri melakukan upgrade IT yang biasanya ditawarkan vendor.
3. Mengurangi pemborosan. Estimasi Computerworld bahwa sekitar 70% kapasitas penyimpanan pada jaringan berbasis Windows digunakan menampung hal-hal yang kurang penting bagi perusahaan.
4. Melakukan penundaan investasi IT hingga terbentuk standar dan best practice yang mapan.
5. Lebih agresif dalam melakukan kendali terhadap biaya dan resiko yang ditimbulkan IT disbanding keunggulannya.
6. Memantau perkembangan teknologi untuk menjadi fast-follower daripada mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menjadi first mover tetapi tidak mendapatkan keuntungan yang berarti.

Material Requirement Planning

1. Pengertian Material Requirement Planning
Pengaturan material mempunyai pengertian sebagai suatu pengaturan yang mencangkup hal- hal yang berhubungan dengan sistem persediaan yang sekaligus sistem informasinya, agar dicapai sistem pengadaan material yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat bahan, dan tepat harga. Sistem pengaturan ini kemudian dikenal dengan perencanaan kebutuhan bahan baku atau dalam istilah asing dikenal sebagai MRP (Material Requirement Planning), (Yamit,1996).
Material Requirement Planning (MRP) dapat didefinisikan sebagai suatu teknik atau set prosedur yang sistematis dalam penentuan kuantitas serta waktu dalam proses pengendalian kebutuhan bahan terhadap komponen-komponen permintaan yang saling bergantungan. (Dependent demand items). Permintaan dependent adalah komponen barang akhir-seperti bahan mentah, komponen suku cadang dan subperakitan-dimana jumlah sediaan yang dibutuhkan tergantung (dependent) terhadap jumlah permintaan item barang akhir. Contoh, dalam perencanaan produksi sepeda, permintaan dependen dari sediaan yang mungkin adalah aluminum, ban, jok, dan rantai sepeda.

2. Tujuan MRP
Suatu sistem MRP pada dasarnya bertujuan untuk merancang suatu sistem yang mampu menghasilkan informasi untuk mendukung aksi yang tepat baik berupa pembatalan pesanan, pesan ulang, atau penjadwalan ulang. Aksi ini sekaligus merupakan suatu pegangan untuk melakukan pembelian dan/ atau produksi.
Tujuan dari perencanaan kebutuhan bahan baku adalah sebagai berikut (Yamit, 1996) :
1. Menjamin tersedianya material, item, atau komponen pada saat dibutuhkan untuk memenuhi jadwal induk produksi dan menjamin tersedianya produk jadi bagi konsumen.
2. Menjaga tingkat persediaan pada kondisi minimum
3. Merencanakan aktifitas pengiriman, dan aktifitas pembelian

3. Prasyarat dan Asumsi dari MRP
Tujuan dari MRP untuk menghasilkan informasi persediaan yang mampu digunakan untuk mendukung melakukan tindakan secara tepat dalam melakukan produksi. Agar MRP dapat berfungsi dan dioperasionalisasikan dengan efektif ada beberapa persyaratan dan asumsi yang harus dipenuhi. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah : (Gaspersz, 1998)
a. Tersedianya Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule), yaitu suatu rencana
produksi yang menetapkan jumlah serta waktu suatu produk akhir harus tersedia sesuai dengan jadwal yang harus diproduksi. Jadwal Induk Produksi ini biasanya diperoleh dari hasil peramalan kebutuhan melalui tahapan perhitungan perencanaan produksi yang baik, serta jadwal pemesanan produk dari pihak konsumen.
b. Setiap item persediaan harus mempunyai identifikasi yang khusus. Hal ini disebabkan karena biasanya MRP bekerja secara komputerisasi dimana jumlah komponen yang harus ditangani sangat banyak, maka pengklasifikasian atas bahan, bagian atas bahan, bagian komponen, perakitan setengah jadi dan produk akhir haruslah terdapat perbedaan yang jelas antara satu dengan yang lainnya.
c. Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan. Dalam hal ini tidak diperlukan struktur produk yang memuat semua item yang terlibat dalam pembuatan suatu produk apabila itemnya sangat banyak dan proses pembuatannya sangat komplek. Walaupun demikian, yang penting struktur produk harus mampu menggambarkan secara gamblang langkah-langkah suatu produk untuk dibuat, sejak dari bahan baku sampai menjadi produk jadi.
d. Tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item yang menyatakan status persediaan sekarang dan yang akan datang.

Ada 4 macam yang menjadi ciri utama MRP, yaitu: (Nasution,1992)
a. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat, kapan suatu pekerjaan akan selesai (material harus tersedia) untuk memenuhi permintaan produk yang dijadwalkan berdasarkan MPS yang direncanakan.
b. Menentukan kebutuhan minimal setiap item, dengan menentukan secara tepat sistem penjadwalan.
c. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan, dengan memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan suatu pesanan harus dilakukan.
d. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang dikehendaki, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melaksanakan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis. Seandainya penjadwalan ulang ini masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan terhadap suatu pesanan harus dilakukan.

4. Input, proses, output MRP
Penggunaan MRP dimulai dengan mengestimasikan produk-produk apa saja yang dibutuhkan pada periode selanjutnya berdasarkan master production schedule. Software MRP selanjutnya menghitung waktu yang dibutuhkan dalam proses produksi manufaktur, Estimasi waktu perakitan diterapkan pada setiap produk. Kemudian, sistem tersebut mengelompokkan produk dalam daftar bills of materials untuk dikembangkan oleh departemen teknik.
Sistem ini bekerja melalui proses input dan output. Proses input dimasukkan dalam software yang digunakan untuk proses output. Proses input dan output dalam MRP mencakup :
- Input MRP
Ada 3 Input yang dibutuhkan dalam konsep MRP yaitu (Nasution,1992):
• Jadwal Induk Produksi (Master production schedule)
Merupakan suatu rencana produksi yang menggambarkan hubungan antara kuantitas setiap jenis produk akhir yang diinginkan dengan waktu penyediaannya
• Struktur Produk (Product structure Record & Bill of Material)
Merupakan kaitan antara produk dengan komponen penyusunnya. Informasi yang dilengkapi untuk setiap komponen ini meliputi :
- Jenis komponen
- Jumlah yang dibutuhkan
- Tingkat penyusunannya
Selain ini ada juga masukan tambahan seperti :
- Pesanan komponen dari perusahaan lain yang membutuhkan
- Peramalan atas item yang bersifat tidak bergantungan.
• Status Persediaan (Inventory Master File atau Inventory Status Record)
Menggambarkan keadaan dari setiap komponen atau material yang ada dalam persediaan, yang berkaitan dengan :
- Jumlah persediaan yang dimiliki pada setiap periode (on hand inventory )
- Jumlah barang dipesan dan kapan akan datang (on order Inventory )
- Waktu ancang – ancang ( lead time ) dari setiap bahan.
Status persediaan ini harus diketahui untuk setiap bahan atau item dan diperbaharui setiap terjadi perubahan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam perencanaan.

- Proses MRP
Langkah - langkah dasar dalam penyusunan Proses MRP (Nasution,1992)
1. Netting (kebutuhan bersih) : Proses perhitungan kebutuhan bersih untuk setiap periode selama horison perencanaan.
2. Lotting (kuantitas pesanan) : Proses penentuan besarnya ukuran jumlah pesanan yang optimal untuk sebuah item, berdasarkan kebutuhan bersih yang dihasilkan.
3. Offsetting (rencana pemesanan): Bertujuan untuk menentukan kuantitas pesanan yang dihasilkan proses lotting. Penentuan rencana saat pemesanan ini diperoleh dengan cara mengurangkan saat kebutuhan bersih yang harus tersedia dengan waktu ancang-ancang (Lead Time).
4. Exploding: Merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat (level) yang lebih bawah dalam suatu struktur produk, serta didasarkan atas rencana pemesanan.

- Output MRP
Keluaran MRP sekaligus juga mencerminkan kemampuan dan ciri dari MRP, yaitu : (Gaspersz, 1998)
a. Planned Order Schedule (Jadwal Pesanan Terencana) adalah penentuan jumlah kebutuhan material serta waktu pemesanannya untuk masa yang akan datang.
b. Order Release Report (Laporan Pengeluaran Pesanan) berguna bagi pembeli yang akan digunakan untuk bernegosiasi dengan pemasok, dan berguna juga bagi manejer manufaktur, yang akan digunakan untuk mengontrol proses produksi.
c. Changes to planning Orders (Perubahan terhadap pesanan yang telah direncanakan) adalah yang merefleksikan pembatalan pesanan, pengurangan pesanan, pengubahan jumlah pesanan.
d. Performance Report (Laporan Penampilan) suatu tampilan yang menunjukkan sejauh mana sistem bekerja, kaitannya dengan kekosongan stock dan ukuran yang lain. Terlihat pada gambar Sistem MRP

5. Metode Penentuan Lotting dalam MRP
Proses penentuan besarnya ukuran jumlah pesanan yang optimal untuk sebuah item, berdasarkan kebutuhan bersih yang dihasilkan dari masing-masing periode horison perencanaan dalam MRP ( material requirment Planning).
Didalam ukuran lot ini ada beberapa pendekatan yaitu:
1. Menyeimbangkan ongkos pesan (set up cost) dan ongkos simpan.
a. Biaya pemesanan ( order cost ) adalah biaya yang dikaitkan dengan usaha untuk mendapatkan bahan atau bahan dari luar. Biaya pemesanan dapat berupa biaya penulisan pemesanan, biaya proses pemesanan, biaya materai / perangko, biaya faktur, biaya pengetesan, biaya pengawasan, dan biaya transportasi. Sifat biaya pemesanan ini adalah semakin besar frekuensi pembelian semakin besar biaya pemesanan.
b. Biaya Penyimpanan.
Komponen utama dari biaya simpan ( carrying cost ) terdiri dari :
a) Biaya Modal, meliputi : biaya yang diinvestasikan dalam persediaan, gedung, dan peralatan yang diperlukan untuk mengadakan dan memelihara persediaan.
b) Biaya Simpan, meliputi : biaya sewa gudang, perawatan dan perbaikan bangunan, listrik, gaji, personel keamanan, pajak atas persediaan, pajak dan asuransi peralatan, biaya penyusutan dan perbaikan peralatan. Biaya tersebut ada bersifat tetap (fixed ), variabel, maupun semi fixed atau semi variabel.
2. Menggunakan konsep jumlah pesanan tetap.
3. Dengan jumlah periode pemesanan tetap.


Terdapat 10 Alternatif teknik yang digunakan dalam menentukan ukuran Lot.
Kesepuluh teknik adalah sebagai berikut :
a. Fixed Order Quantity (FOQ)
Pendekatan menggunakankonsep jumlah pemesanan tetap karena keterbatasan akan fasilitas. Misalnya : kemampuan gudang, transportasi, kemampuan supplier dan pabrik.
b. Lot for Lot (LFL)
Pendekatan menggunakan konsep atas dasar pesanan diskrit dengan pertimbangan minimasi dari ongkos simpan, jumlah yang dipesan sama dengan jumlah yang dibutuhkan.
c. Least Unit Cost (LUC)
Pendekatan menggunakan konsep pemesanan dengan ongkos unit perkecil, dimana jumlah pemesanan ataupun interval pemesanan dapat bervariasi. Keputusan untuk pemesanan didasarkan :
ongkos perunit terkecil = (ongkos pesan per unit) + (ongkos simpan per unit)
d. Economic Order Quantity (EOQ)
Pendekatan menggunakan konsep minimasi ongkos simpan dan ongkos pesan. Ukuran lot tetap berdasarkan hitungan minimasi tersebut.
e. Period Order Quantity (POQ)
Pendekatan menggunakan konsep jumlah pemesanan ekonomis agar dapat dipakai pada periode bersifat permintaan diskrit, teknik ini dilandasi oleh metode EOQ. Dengan mengambil dasar perhitungan pada metode pesanan ekonomis maka akan diperoleh besarnya jumlah pesanan yang harus dilakukan dan interval periode pemesanannya adalah setahun.
f. Part Period Balancing (PPB)
Pendekatan menggunakan konsep ukuran lot ditetapkan bila ongkos simpannya sama atau mendekati ongkos pesannya.
g. Fixed Periode Requirement (FPR)
Pendekatan menggunakan konsep ukuran lot dengan periode tetap, dimana pesanan dilakukan berdasarkan periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah pesanan tidak didasarkan oleh ramalan tetapi dengan cara menggunakan penjumlahan kebutuhan bersih pada interval pemesanan dalam beberapa periode yang ditentukan.
h. Least Total Cost (LTC) :
Pendekatan menggunakan konsep ongkos total akan diminimasikan apabila untuk setiap lot dalam suatu horison perencanan hampir sama besarnya. Hal ini dapat dicapai dengan memesan ukuran lot yang memiliki ongkos simpan per unit-nya hampir sama dengan ongkos pengadaannya/ unitnya.
ongkos total = (ongkos simpan) + (ongkos pengadaan)
i. Wagner Within (WW)
Pendekatan menggunakan konsep ukuran lot dengan prosedur optimasi program linear, bersifat matematis. Pada prakteknya ini sulit diterapkan dalam MRP karena membutuhkan perhitungan yang rumit. Fokus utama dalam penyelesaian masalah ini adalah melakukan minimasi penggabungan ongkos total dari ongkos set-up dan ongkos simpan dan berusah agar ongkos set-up dan ongkos simpan tersebut mendekati nilai yang sama untuk kuantitas pemesanan yang dilakukan.
j. Silver Mean (SM)
Menitik beratkan pada ukuran lot yang harus dapat meminimumkan ongkos total per-periode.Dimana ukuran lot didapatkan dengan cara menjumlahkan kebutuhan beberapa periode yang berturut-turut sebagai ukuranlotyang tentatif (bersifat sementara), penjumlahan dilakukan terus sampai ongkos totalnya dibagi dengan banyaknya periode yang kebutuhannya termasuk dalam ukuran lott entatif tersebut meningkat. Besarnya ukuran lot yang sebenarnya adalah ukuran lott entatif terakhir yang ongkos total periodenya masih menurun.

6. Kelemahan MRP
Problem utama penggunaan sistem MRP adalah integritas data. Jika terdapat data salah pada data persediaan, bill material data/master schedule kemudian juga akan menghasilkan data salah. Problem utama lainnya adalah MRP systems membutuhkan data spesifik berapa lama perusahaan menggunakan berbagai komponen dalam memproduksi produk tertentu (asumsi semua variable). Desain sistem ini juga mengasumsikan bahwa "lead time" dalam proses in manufacturing sama untuk setiap item produk yang dibuat
Proses manufaktur yang dimiliki perusahaan mungkin berbeda diberbagai tempat. Hal ini berakibat terjadinya daftar pesanan yang berbeda karena perbedaaan jarak yang jauh. The overall ERP system dapat digunakan untuk mengorganisaisi sediaan dan kebutuhan menurut individu perusaaannya dan memungkinkan terjadinya komunikasi antar perusahaan sehingga dapat mendistribuskan setiap komponen pada kebutuan perusahaan.
Hal ini mengindikasikan bahwa sebuah sistem enterprise perlu diterapkan sebelum menerapkan sistem MRP. Sistem ERP system dibutuhkan untuk menghitung secara reguler dengan benar bagaimana kebutuhan item sebenarnya yang harus disediakan untuk proses produksi.
MRP tidak mengitung jumlah kapasitas produksi. Meskipun demikian, dalam jumlah yang besar perlu diterapkan suatu sistem dalam tingkatan lebih lanjut, yaitu MRP II. MRP II adalah sistem yang mengintegrasikan aspek keuangan. Sistem ini mencakup perencanaan kapasitas.